Banyak keterangan dan posting tentang "sabar dan syukur" yang bisa dilihat di publikasi-publikasi yang lisan, cetak maupun elektronik. Ini hanya salah satunya saja, yang mudah-mudahan bisa menambahi wacana-wacana yang sudah ada, tentunya dengan tidak menafikan publikasi - publikasi atau wacana - wacana yang sebelumnya. Semua bisa bermanfaat, tergantung cara mengambilnya. Segala sesuatu tidak ada yang sia-sia kan ?
KEDUDUKAN SABAR dan SYUKUR
At Tirmidzi dalam kitabnya ”al ilm al Awliyya” (yang saya baca tentu saja terjemahannya - Mata Air Kearifan) menjelaskan hal itu, dengan penjelasan yang menurut saya mudah untuk dicerna.
Saya kutipkan disini ya….., tetapi hanya bagian-bagian yang menurut saya adalah inti penjelasannya, saya berikan sedikit perubahan redaksional agar lebih nyaman dibacanya.
Seperti berikut ini.
Tentang kedudukan ”syukur”, Allah SWT berfirman dalam Al-Quran: Bersyukurlah kepada-Ku QS.[31]:14.
Dan tentang ”sabar”, Allah SWT berfirman: Maka bersabarlah terhadap ketetapan Rabb-mu QS.[68]:48; Akan tetapi jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi Ash Shoobiriin QS.[16]:126.
Ada perbedaan nyata antara perkara yang disebut-Nya ”untuk Allah” yakni syukur dan perkara yang disebut-Nya ”untuk kamu” yakni sabar.
Salah satu kedudukan syukur adalah seperti yang Allah SWT firmankan: Bekerjalah [`amalu] hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) QS.[34]:13.
Selanjutnya, ditulisnya, bahwa ’amal adalah perwujudan dari syukur sedangkan sabar berarti meninggalkan amal yang jelek’. Maksudnya adalah, syukur adalah beramal sedangkan sabar adalah menahan diri dari sebagian amal (mis. berkeluh kesah), yang di dalam keduanya (di dalam sikap sabar dan tindakan syukur) termasuk meninggalkan syahwat dan hawa nafsu. Jadi, ’beramal’ (syukur) menempati posisi lebih bila dibandingkan dengan meninggalkan ’sebagian amal’ (sabar). Jadi, sabar adalah mendahului syukur.
At Tirmidzi juga menyertakan hadis yang berikut:
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW berdiri dalam sholatnya sampai kedua telapak kakinya bengkak. Kemudian ditanyakan kepadanya: ”Wahai Rasulullah, mengapa Engkau melakukan ini padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu dan yang akan datang ? Beliau SAW menjawab: ”Tidak bolehkan Aku menjadi hamba yang bersyukur?”
”Sungguh Aku lebih khawatir jika kalian mendapat fitnah (ujian) yang menyenangkan dibanding ujian yang menyengsarakan.”
At Tirmidzi juga menyertakan ucapan Abdurrahman bin Awf r.a. yang berikut ini,
”Ketika kami mendapat ujian yang menyulitkan, kami bisa bersabar, tetapi ketika kami mendapat ujian yang menyenangkan, kami tidak kuasa bersabar”
Jadi, sejauh sampai hari ini, yang saya mengerti adalah,
Sabar adalah sikap menahan diri dari beramal (tertentu) terhadap af’al Allah SWT yang dihadirkan-Nya kepada seorang manusia melalui makhluk - makhlukNya (termasuk manusia) di semesta alam ini …
Menahan diri dari beramal (tertentu) ? Masa iya sih ?
Iya ! Menahan diri dari beramal yang tidak sesuai dengan perintah-Nya. Misalnya: berkeluh-kesah, marah-marah, foya-foya, dan lain-lain hal yang urusannya dengan syahwat dan hawa nafsu.
Syukur justru sepenuhnya beramal dengan apa-apa yang Dia SWT berikan kepada diri manusia dan amal itu semata-mata didedikasikan untuk Dia SWT,…. tetap dengan meninggalkan perbuatan yang tidak sesuai dengan perintah-Nya.
Persoalan sabar dan syukur, dimulai dari bersabar dan harus selalu dilengkapi dengan kebersyukuran [1]. Sabar mendahului syukur dan sabar tidak lengkap kecuali bilamana syukur ada bersamanya.
Menempuh perjalanan sabar dan syukur adalah bershaf-shaf,….. shaf demi shaf harus dilampaui… Sampai akhirnya Allah SWT angkat ke peringkat dimana ia ”bisa” mengucapkan dengan seluruh dirinya: inna li-l-laahi wa inna ilaihi roji’un….. peringkat Ash Shobiriin.
Bagaimana bisa bersabar ?