NAFS

al Nafs berarti “Pensucian Jiwa”. Secara etimologi, kata “tazkiyat” berasal dari (isim mashdar) kata zakka, yg berarti pembersihan atau penyucian. Sedangkan kata “al-nafs” umumnya diartikan sebagai jiwa. Dasar rujukan pensucian jiwa antara lain adalah al Qur’an surat asy-Syams (91) : 7-10 : “Demi jiwa penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh beruntung orang yg mensucikan jiwanya. Dan sungguh merugi orang yg mengotori jiwanya”.
Istilah “zakkaha” dalam ayat itu bisa dipahami sebagai kata yg mempunyai konotasi makna tazkiyat al nafs.
Padanan atau sinonim yg mirip dengan pengertian tazkiyat, adalah tathhir yg berasal dari kata thoharoh yg artinya membersihkan. Kata tathhir atau thoharoh konotasinya adalah membersihkan sesuatu yg bersifat materil atau jasmani yg bisa diketahui oleh indera indera manusia.misalnya membersihkan tangan dari kotoran,baik berupa najis maupun noda noda yg menempel pada jasmani manusia. Sedangkan kata tazkiyat konotasinya adalah membersihkan sesuatu bersifat immateril. Misalnya, membersihkan pikiran dari angan angan kotor, nafsu jahat dan sebagainya. Dalam hal ini al-Ghozali juga menggunakan kata tazkiyat untuk pensucian hal yg immateril.
Tazkiyat al-nafs adalah proses pensucian jiwa manusia. Proses pensucian jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan dengan melalui takholli dan tahalli. Tazkiyat al-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Dalam hal ini Sahl bin Adulloh al-Shufi berpendapat bahwa siapa saja yg pikirannya jernih, ia berada dalam keadaan kontemplatif. Kalangan sufi adalah orang orang yg senantiasa mensucikan hati dan jiwa. Perwujudannya adalah rasa butuh terhadap Tuhannya.
Upaya melakukan penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiap orang yg menginginkan ilmu ma’rifat. Sebab ilmu ma’rifat tidak dapat diterima oleh manusia yg jiwanya kotor. Ada lima hal yg menjadi penghalang bagi jiwa didalam menangkap hakikat yaitu :
Pertama, jiwa yg belum sempurna. Kedua, jiwanya dikotori perbuatan perbuatan maksiat. Ketiga, menuruti keinginan badan. Keempat, penutup yg menghalangi masuknya hakikat ke dalam jiwa (taqlid). Kelima, tidak dapat berpikir logis.
Dibutuhkan upaya pengembalian jiwa kepada kesempurnaannya untuk menghilangkan penghalang penghalang itu. Dalam konteks inilah, penyempurnaan jiwa dapat dilakukan tazkiyat al-nafs.
Tazkiyat al-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasarkan pada asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar gambar objek material. Dengan demikian kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakikat hakikat atau ilmu ma’rifat ke dalam jiwa, sementara jiwa yg kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi, akan membuat manusia terhijab dari Allah.
Pembicaraan konsep tazkiyat al-nafs ini, berawal dari asumsi yg erat antara ajaran Islam dengan jiwa manusia. Tazkiyat al-nafs merupakan salah satu unsur penting dalam Islam yg untuk itulah Nabi Muhammad dibangkitkan sebagaimana dijelaskan dalam al Quran Surat al-Jumuah ayat 2 yg artinya: “Dialah yg mengutus kepada ummat yg ummi seorang Rosul dari kalangan mereka, yg membacakan kepada mereka ayat ayat Nya dan membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu berada dalam kesesatan yg nyata”.
Dari tinjauan akhlak tasawuf al Ghozali memandang tazkiyat al nafs dan tahliyat al nafs dalam arti latihan mengosongkan jiwa dari akhlak tercela dan mengisinya dengan akhlak terpuji. Dari tinjauan ini, tazkiyat al nafs al Ghozali merupakan bagian dari methode tasawuf, khususnya dalam usaha pembinaan dan pembentukan jiwa yg berakhlak mulia. Dari sini maka tazkiyat al nafs berhubungan erat dengan soal akhlak dan kejiwaan yaitu sebagai pola pembentukan manusia yg berakhlak baik beriman dan bertaqwa keraf Allah.
Tazkiyat al nafs berhubungan erat dengan usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dasar argumentasinya, bahwa Allah tidak bisa didekati oleh org yg jiwanya tidak suci, karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Suci yg hanya berjiwa suci pula. Oleh karenanya tingkat kedekatan (qurb), pengenalan (ma’rifat) dan tingkat kecintaan manusia terhadap Nya sangat bergantung pada kesucian jiwanya.
Jadi pensucian jiwa yg dimaksudkan al Ghozali adalah proses pensucian jiwa manusia dari kotoran kotoran baik kotoran secara lahir maupun batin. Proses ini dilakukan dengan upaya mensucikan jiwa manusia melalui terlebih dahulu menyucikan sifat sifat Allah sehinggah jiwa manusia dipenuhi dengan keimanan dan ketauhidan yg semakin kuat dan suci dari Allah.
Pentingnya metode pensucian jiwa karena al Ghozali melihat bahwa pensucian jiwa merupakan inti dari kegiatan bertasawuf. Dalam hal ini ia mengutip pendapat Sahl bin Abdulloh al Shufi bahwa siapa yg jernih dari kotoran, pikirannya akan berada dalam keadaan kontemplatif, sehingga akan mendapat singgasana emas dan mutiara. Dalam hal ini al Ghozali melihat bahwa org sufi adalah org yg senantiasa berada dalam penjernihan dari kotoran kotoran hati dan jiwa. Perwujudannya adalah bentuk para butuh terhadap Tuhannya. Dengan melanggengkan fakir kepada Tuhan, akan menyingkirkan kotoran. Setiap nafsu yg bergerak dengan sifat sifatnya, akan berbenturan dengan bashiro yg bergerak pula, sehingga berlari menuju Rob-nya. Maka dengan penjernihan totalitas dirinya dan pemisahan terhadap kotoran jiwanya, sang sufi akan tegak berdiri dengan Robb-nya dalam kalbunya di atas jiwanya.
 

Panji Rasulullah Copyright © 2008-2009 | Edited By : Copyright Tanpa Nama