Istilah Kesufian

Arif; adalah orang yang mengetahui Zat, sifat-sifat, dan tindakan secara terpisah, serta dalam hubungan satu sama lain dengan keadaannya {hal}; dan bukan semata-mata memperbincangkan masalah tersebut.Yaitu orang yang sudah kehilangan kesadaran akandirinya, dan lebur di dalam 'irfan atau pengetahuan tentang Tuhan.

'Abd; yaitu sesuatu yang mewujud.'Abd yang pertama adalah "Aku", demikian ucap Muhammad SAW. Dengan satu Tuhan, akan ada satu 'abd (yaitu Rasulullah SAW.) Dan dari satu 'abd inilah kemudian terwujud para 'abd lainnya. Oleh sebab itu 'abd pertama adalah barzakh antara Tuhan dan makhluk. Karena itu, tauhid adalah sebuah kenyataan, di mana di dalamnya sudah tidak ada lagi rabb dan 'abd {at-Tauhidu haqiqatun la rabba wa la rabba}.

Abdal; adalah tujuh aulia yang menjaga tujuh benua. Mereka disebut abdal (yaitu mereka yang berubah), karena mereka dapat berubah-ubah ke dalam berbagai wujud yang dikehendaki. Mereka dapat berada di suatu tempat, dan menunjukkan jasadnya di banyak tempat sekaligus.

'Adam; adalah ketiadaan. Ada dua jenis, yaitu: Nyata, dan yang berkaitan. "Adam nyata tidak pernah ada, karena sebagai kebalikan dari (sifat) Tuhan, maka tidak akan lama dalam keadaan Adam. Oleh sebab itu keperiadaan Adam yang nyata amat mustahil. Selain huruf-huruf 'A, D, A, dan M, tiada sesuatu yang memiliki eksternalitas. Tidak ada Zat di seba- liknya; yang ada hanyalah Adam dalam kata-kata {'adam-i- malfudzi}.Ia adalah nama tanpa sebutan; (yang ada) semata-mata hanya sebagai alasan, sehingga perlu diberikan nama atau sebutan kepadanva.

'Adam; yang berhubungan ('adam-i-idzafi); ini adalah kenyataan dari a'yan yang terselubung di dalam keperiadaan Tuhan {demikian menurut mazhab Syuhudiyyah); atau sesuai dengan mana Tuhan mewujudkan dirinya sendiri (demikian menurut mazhab Wujudiyyah). Artinya, hubungan yang ada antara Tuhan dan bentuk-bentuk 'abd di dalam pengetahuan-Nya adalah (dalam) eksistensi Tuhan sendiri. A'yan adalah bentuk-bentuk yang tidak terpisah dari-Nya, ketika sejak tanazzulat pertama kali.

Ahwal (jamak dari hal), yaitu kondisi di mana 'abd terpindahkan dengan cara pemurniaan nafs; atau kondisi-kondisi yang membayangi sesuatu secara spontan, seperti: takut, bahagia, cinta, dan lain-Ialn.

Allah; berasal dari al-Ilah, artinya yang disembah (dan tertentu). Yaitu sesuatu yang paling berhak menerima penyembahan, Sebutan tersebut diperuntukkan bagi Tuhan, yang di dalamnya terangkum segenap sifat-sifat kesempurnaan. Sementara sifat-sifat kesempurnaan dan cacat hanya pantas dilekatkan pada 'abd. Syekh Kamal dai Cuddapan pernah berkata: >Mayn hun asam, shunwa hay haq, mayn bey basar bina hay haq

Mayn gung hun, goya hay haq, mayn nay hun, haq mawjud hay.

Aku tuli, dan hanya kebenaran saja yang terdengar Aku buta, dan banyak kebenaran saja yang tampak Aku bisu, dan hanya kebenaran saja yang terucap

Aku bukan sesuatu, dan hanya kebenaran saja yang ada

Kata yang digunakan dalam tahap pertama adalah keti- dakterbatasan, sehingga semua penunjuk (indikasi) gugur dengan sendirinya (at-Tauhidu isqatul-isyarat). Pada tahap kedua, sifat-sifat kesempurnaan dijadikan sebutan. Sedang pada tahap ketiga, sifat-sifat seperti itu lebih dirinci, dan semuanya menunjukkan yang dinamakan (the named, musamma).

'Ananiyyat: Diri, Ego, khususnya Ego Tuhan. Gulshan-i-Raz pernah berkata:
Haqiqat kaz taiyyun shud muiyyan

Tu wu ra dar ibarat guftai man

Dalam pembatasan, kebenaran menjadi terbatas Dalam pengertianmu, engkau katakan hal itu sebagai "Aku"

Pada makhluk yang rendah, ia terbatasi; sedang pada manusia hal tersebut tidak terbatasi. Apabila manusia menyadari ketidakterbatasan dan ketidakterhinggaan dirinya, maka ia kemudian menja Manusia Sempurna (Insan-i-Kamil). Apabila ia tidak melakukannya, justru kemudian menjadi dzalimdan jahil. Dapat dikatakan bahwa 'ananiyyat seorang "abd", adalah hampir serupa dengan 'ananiyyat Tuhan dalam skala terbatas.

Sebuah hadis Rasul menyatakan: Inna fil jasadi adama la-muzghatun wa fi muzghatin fawadun, wa fil fu-ad ruhun wa fir-ruhin sirrun wa sirri kafi, wa fil kafi akfa wa fil akfa ana. Oleh sebab itu 'ananiyyat itu tersembunyi di balik tujuh lapis penutup, yaitu: akfa (yangpaling rahasia), kafi (rahasia), sirr, roh (jiwa, roh), fu-ad, muzgha (gumpalan), jasad (badan). Syekh Ahmad Sarhindi telah mencoba menempatkan enam pusat (lathayif), yaitu: akfa pada kepala, kafi pada kening, roh di sisi kanan, qalbdi sisi kiri, sirr di atas puting dan nafs di dalam puting.

Asma (jamak dari ism); ism adalah Zat yang ditinjau dari satu titik pandang khusus, pandangan tersebut kemudian menjadi syan, dan akhirnya shifat. Aspek atau sifat dari Zat kemudian bekerja (fa'il) dan mewujud dalam bentuk, dan dengan demikian bentuk tersebut di indera. Bentuk tersebut adalah ism-i-kiyan i yang merupakan ego dari ism-i-ilahi, yaitu suatu zat sebagaimana yang dapat di indera; atau sebagaimana pernah dinyatakan oleh 'Arabi, al-Haqqu mahsusun wal khalaqu ma'qulun (Kebenaran adalah yang dapat dirasakan, dan makhluk adalah yang dapat dijabarkan).

Imam Ghazali dalam karyanya Asma-i-Husna (Nama-nama yang indah) menggambarkannya sebagai air dan kualitas yang haus akan celupan (thirst quenching quality, shifat). Syan merupakan bagian tak terpisahkan dari air, dan menjadi potensial di dalam imajinasi kita, sebelum ia menjadi kinetik pada tem- patnya yang wajar (pada sistem binatang). la mewujudkan dirinya di dalam kerja, namun demikian merupakan aspek abadi dari air. Tuhan adalah Maha Pencipta sekaligus Rabb, baik pun ada atau tidak makhluk atau marbub. Nama-nama dapat diterapkan, apabila nama-nama pasangannya mewu- jud, dan kemudian dapat diindera aspek-aspeknya di dalam bentuk.

Ism-i-A'dzam (Nama Agung) dari Tuhan adalah Allah. Beberapa lainnya menganggapnya sebagai Rahman, sedang sebagian lainnya menganggap Rahim atau Hayyu (Yang Maha Hidup) atau Qayyum (Yang Abadi). Asma dari Zat seperti Quddus (Suci), Salam (Abadi) adalah sifat-sifat yang menjangkau terbatas. Mengingat Tuhan (zikir) dengan jalan menyebut asma-Nya berarti juga memperl ihatkan rasa hormat terhadap nama-nama-Nya yang lain. Hanya saja, dengan menyebut asma tertentu, seolah hanya terbatas pada nama sifat-Nya saja.

Maka apabila anda mengingat l)ia dengan menyebut nama-Nya yang khusus, maka yang mewujud adalah nama itu sendiri. Misalnya, seorang yang tengah menderita sakit, berzikir dengan: Ya Shafi (Wahai Zat Yang Maha Menyembuhkan), semestinya yang bersangkutan akan memperoleh kesembuhan secepatnya. Tetapi seringkali ti- daklah demikian. Hal mana menurut al-Ghazali disebabkan yang bersangkutan tidak mengetahui nama-Nya dengan pasti, serta pula cara yang pasti serta lingkungan tertentu untuk melafalkan nama-Nya tersebut. Ini diuraikan al-Gha- zali dalam kitabnya Asma-i-Husna. Misalnya saja, orang yang melafalkan Ya Shafi, tentunya sudah sakit lebih dahulu sebelum Tuhan mengaruniakan kesembuhan. Sehingga akan lebih baik untuk menyebutkan nama pribadi-Nya daripada nama-nama sifat-Nya.

Aulia,jamak dari wali; yaitu sebutan bagi mereka yang sudah mencapai kedekatan dengan Tuhan. Mereka ini sudah berhasil mendaki dari tempat yang teramat rendah hingga mencapai yang tertinggi. Menurut Ibnu 'Arabi, tingkatan wali lebih tinggi dari kerasulan. Karena wilayat atau kewalian adalah kedekatan dengan Tuhan, sedangkan kerasulan adalah kedekatan dengan makhluk. Seorang wali adalah Abul-Waqt(ayah atau pengendali waktu) sebagai kebalikan dari Ibnul-Waqt (anak waktu, atau mereka yang berenang di arus waktu). Pada Abul Waqt, ia adalah orang yang sudah meniadakan diri di dalam Kehendak Tuhan. Dan melalui dirinya, atau pada diri orang tersebut, kehendak Tuhan mewujud. Artinya, ia berbuat sebagaimana yang Tuhan kehendaki, sehingga dari orang-orang tersebut sering lahir keanehan atau keajaiban. Seorang Ibnul Waqt adalah mereka yang mampu melihat perwujudan asma, dan kemudian menyesuaikan dirinya dengan ketentuan atau persyaratan asma tersebut.

A'yan; Pikiran atau bayangan tentangwujud Zat. Bentuk-bentuk seperti cangkir atau pot, misalnya, tampaknya seperti tanah liatdan hanya muncul dalam khayalan. Keunggulan (gagasan tersebut) kemudian mewujud dengan bantuan tanah liat. A'yan demikian pula, bagaikan suatu baris besar dengan mana kemudian muncullah eksistensi. Kemudian dikatakan bahwa a'yan tidak pernah meleburkan aroma eksistensi (ma'shumul rahiyatul wujud). Semuanya adalah kenyataan-kenyataan, sepanjang berkaitan dengan pengetahuan Tuhan. Dan mereka bukan kenyataan, sejauh apabila ditinjau dari keragaan eksternal. Semuanya akan disebut sebagai Tsabita sejauh apabila hal itu merupakan realitas eksternal yang permanen. Kaum filosof menyebutnya sebagai syai' (sesuatu yang didamba) yang tidak mewujud, dan mahiyyat. Karena ia permanen di dalam pengetahuan Tuhan sebagaimana adam-i-malfudzi, maka ia disebut dengan A'yan-i-Tsabita.

Oleh sebab itu mereka abadi di dalam pengetahuan Tuhan; di dalam eksternalitas maka pengejawantahannya adalah mengambang. Di dalam aspek rohaninya (inward aspect), mereka tidak dapat dikatakan sebagai tidak abadi. Karena kalau demikian, maka pengetahuan Tuhan juga akan disebut tidak ahadi, padahal yang demikian adalah mustahil.

A'yan bermula sesudah tahapan Wahidiyyat, yaitu ketika pelwujudannya dimulai, yaitu ketika mulai disebut dengan A'yan-i-Kharija, yang merupakan subyek dari peniadaan.
 

Panji Rasulullah Copyright © 2008-2009 | Edited By : Copyright Tanpa Nama