"Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan, tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Rahman: 26-27).
Kefana'an yang disebutkan di dalam ayat ini tidak seperti maksud yang disebutkan golongan ini. Sebab kefana'an di dalam ayat ini adalah kebinasaan dan ketiadaan. Allah mengabarkan bahwa segala sesuatu di muka bumi ini akan tiada dan mati, sementara Wajah Allah tetap. Hal ini seperti firman-Nya,
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati." (Al-Anbiya': 35).
Menurut Al-Kalby dan Muqatil, ketika ayat ini turun, maka para malaikat berkata, "Semua penghuni bumi akan binasa". Ketika Allah menurunkan ayat, "Dan tetap kekal Wajah Rabbmu", mereka bertambah yakin tentang adanya kebinasaan itu.
Asy-Sya'by berkata, "Jika engkau membaca ayat, 'Semua yang ada di bumi itu akan binasa', janganlah engkau berhenti hingga engkau melanjutkan, 'Dan, tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan'."
Ini menunjukkan kedalaman ilmu dan pemahamannya tentang Al-Qur'an. Sebab yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah pengabaran tentang kebinasaan apa pun yang ada di muka bumi dan ketetapan Wajah Allah. Redaksi ayat ini dimaksudkan hanya untuk memuji-Nya sebagai satu-satunya yang baqa' (tetap). Sementara tidak ada pujian yang layak diberikan jika hanya disebutkan kefana'an makhluk. Pujian diberikan kepada ketetapan-Nya setelah kefana'an makhluk-Nya. Hal ini seperti firman-Nya,
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Wajah Allah." (Al-Qashash: 88).
Sedangkan kefana'an yang diterjemahkan golongan ini berbeda dengan makna di atas. Kefana'an yang mereka isyaratkan lewat ayat ini adalah kepergian hati, pengasingannya dari alam ini dan kebergantungannya kepada Dzat Yang Mahatinggi dan yang memiliki baqa' serta yang tidak dijamah kefana'an. Siapa yang membuat dirinya fana' dalam kecintaan dan ketaatan kepada-Nya serta menghendaki Wajah-Nya, maka kefana'an ini akan menghantarkannya kepada kedudukan baqa'. Ayat ini memberi isyarat bahwa hamba sangat perlu untuk tidak bergantung kepada siapa pun yang fana' dan meninggalkan yang baqa', yaitu Dzat Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Seakan-akan ayat ini mengatakan, "Jika engkau bergantung kepada yang fana', maka kebergantungan ini akan berakhir saat ia fana'. Namun jika engkau bergantung kepada yang baqa' dan tidak fana', maka kebergantunganmu kepadanya tidak akan terputus dan akan terus berlanjut."
Kefana'an yang bisa diterjemahkan di sini adalah puncak dan akhir kebergantungan, yang berarti merupakan pemutusan dari selain Allah dari segala sisi. Karena itu Syaikh berkata, "Kefana'an dalam masalah ini adalah pelenyapan selain Allah secara ilmu, lalu pengingkaran, lalu kebenaran."
Fana' kebalikan dari baqa'. Yang baqa' bisa baqa' dengan sendirinya tanpa membutuhkan orang lain yang membuatnya baqa', tapi baqa'nya merupakan keharusannya. Yang seperti ini adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, sedangkan selain-Nya menjadi baqa' karena baqa'nya Allah, yang dirinya tidak memiliki baqa' yang hakiki.
Ada tiga derajat kefana'an, yaitu:
1. Kefana'an ma'rifat dalam Dzat yang dikenali. Ini merupakan kefana'an ilmu, kefana'an pandangan dalam apa yang dipandang, kefana'an pengingkaran, kefana'an pencarian dalam apa yang didapatkan dan kefana'an sebagai kebenaran. Kefana'an ma'rifat dalam Dzat yang dikenali artinya orang yang memiliki ma'rifat tidak mengenali tentang perasaannya terhadap apa yang dikenali, sehingga dia tidak mengenali apa yang diperbuat Allah. Karena ma'rifat merupakan perbuatan dan sifat orang yang mengenali itu. Jika dia tenggelam dalam kesaksian terhadap (Dzat) yang dikenali, maka ini merupakan kefana'an tentang sifat dan perbuatannya. Karena ma'rifat lebih tinggi derajatnya daripada ilmu dan juga lebih khusus, maka kefana'an ma'rifat tentang (Dzat) yang dikenali, merupakan keharusan bagi kefana'an ilmu dalam ma'rifat. Tentang kefana'an pandangan dalam apa yang dipandang, maka pandangan di atas ma'rifat. Jika ada peralihan dari ma'rifat ke pandangan, maka pandangannya akan menjadi fana' dalam apa yang dipandang, sebagaimana ma'rifatnya yang menjadi fana' dalam apa yang dikenali.
2. Kefana'an kesaksian pencarian untuk menggugurkan kesaksian itu, kefana'an kesaksian ilmu untuk menggugurkan kesaksian, dan kefana'an kesaksian pandangan untuk menggugurkan kesaksiannya. Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, karena lebih jauh dalam kefana'annya, sehingga di dalam hati mereka tidak ada kesibukan untuk mengingat keadaan dan kedudukan diri sendiri, karena sibuk dengan Rabb-nya.
3. Kefana'an dalam kesaksian. Ini adalah kefana'an yang sebenarnya,yang melihat cahaya hakikat dari kejauhan, yang mengarungi lautan kebersamaan dan meniti jalan baqa'.
Menurut Syaikh, ini merupakan kefana'an yang sebenarnya, karena segala apa selain Allah menjadi fana' di dalamnya, dan orangnya mempersaksikan kefana'an yang menjadi fana', sehingga yang menyisa hanya Allah Yang Maha Penguasa dan Menundukkan. Namun di dalam Al-Qur'an, As-Sunnah maupun dalam perkataan para shahabat serta tabi'in tidak pernah disebutkan sanjungan atau pun celaan terhadap lafazh fana'. Mereka juga tidak menggunakan lafazh ini dengan makna yang diisyaratkan Syaikh tersebut. Para ahli thariqah yang terdahulu juga tidak menggunakannya atau menganggapnya sebagai suatu kedudukan dan tujuan. Jadi kami tidak mengingkari dan juga tidak menerima lafazh ini secara mutlak. Maka dari itu harus ada rincian dan penjelasan tentang masalah ini.
Hakikat fana' seperti yang diisyaratkan Syaikh adalah ketiadaan sesuatu dalam wujud ilmiah dan rasa. Dalam hal ini harus dibedakan antara makna yang diberikan orang-orang yang istiqamah, yang menyimpang dan para ateis. Para ateis yang mengatakan tentang adanya wahdatul-wujud menganggap bahwa kefana'an merupakan tujuan kefana'an tentang wujud yang sama. Sesuatu yang sama tidak bisa ditetapkan wujudnya sama sekali, tidak pula dalam kesaksian dan pandangan,semua ada dalam kesaksian wahdatul-wujud, sehingga saat itu bisa diketahui wujud kebersamaan semua wujud yang ada, yaitu dalam wujud Allah. Jadi di sana tidak ada dua wujud, tapi semua yang ada adalah satu. Kefana'an menurut mereka adalah kefana'an dari sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Tentu saja ini adalah persangkaan semata.
Orang-orang yang istiqamah dan ahli tauhid mengisyaratkan kefana'an kepada dua perkara, yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya, yaitu:
Kefana'an dalam kesaksian Rububiyah dan Qayumiyah. Di sini ada kesaksian terhadap kesendirian Allah dalam berdiri sendiri, mengatur,mencipta, memberi rezki, memberi, mencegah, memberi manfaat dan mudharat, dan semua wu jud diperlakukan dan bukannya yang melakukan. Dalam semua perbuatan hamba berlaku hukum-hukum Rububiyah, dan dia tidak berkuasa sedikit pun atas dirinya dan juga orang lain.
- Kefana'an dalam kesaksian Ilahiyah. Hakikatnya adalah kefana'an dari kehendak kepada selain Allah, cinta, tawakal, takut dan penyandaran kepada-Nya. Dengan cinta kepada Allah, maka ada kefana'an dari cinta kepada selain-Nya. Hakikat kefana'an ini merupakan pengesaan Allah dalam cinta, harapan, takut, pengagungan dan pemuliaan.