Ma'rifat Macam macam Ma'rifat Tingkatan Ma'rifat Metode Ma'rifat Syekh Ibnu Atha'illah Tasawuf Ibnu Atha'illah
Aqo'id 20 Uluhiyah Ruhiyah Nabawiyah
Syarat Umum Tawasul 1 حزب الإخفاء سيدنا ابى الحسان الشاذلى حزب الجيلانى سيدنا شيخ العبدالقادر الجيلانى حزب المبارك سيدنا ابى الحسان الشاذلى حزب البسم الله حزب الأ لـفاتحه سيدنا على بن ابى الطالب Akasyah Istigfar
قسم حروف الثمنية والعشرين
Ma’rifat sudah dipastikan memiliki macam dan tingkatannya, dikarenakan dalam tasawuf, Ma’rifat sebagai sebuah maqam dan ahwal tertinggi yang menjadi tujuan sentral para sufi atau salik (penempuh jalan spiritual). Oleh sebab itu corak pemahaman mengenai Ma’rifat baik dari objek eksoteris maupun tingkatanya, dapat dipahami dari jalur pengalaman puncak (pick experience) dari kesufiannya.
Secara garis besar, ada dua kelompok besar yang corak pemahamannnya berbeda dalam memandang Tasawuf, kelompok pertama beradasarakan pada pengalaman kesufiannnya dengan pemahaman yang sederhana dan dapat dipahami oleh manusia pada tataran awam, dan pada sisi lain akan melahirkan pemahaman yang kompleks dan mendalam, dengan bahasa simbolik filosofis. Pada pemahaman pertama melahirkan Tasawuf Sunni, yang tokoh tokohnya antara lain al-Junaid, al-Qusyairi, al-Ghazali, termasuk Ibnu ‘Atha’illah. Sedangkan pemahaman yang kedua menjadi Tasawuf Falasfi, yang tokoh-tokohnya antara lain Abi yazid al-Bistami, al-Hallaj, Ibnu Arabi, al-Jilli.
Di kalangan penganut tasawuf falasafi itu lahirlah teori-teori, seperti Fana. Baqa’, dan Ittihad (yang dipelopori oleh Abu Yazid al-Bistami), Hullul (Yang dipelopori oleh al-Hallaj), Wahdat al-Wujud (yang dipelopori oleh Ibn ‘Arabi), dan Insan Kamil (yang dipelopori oleh al-Jilli), yang tidak diakui oleh tasawuf sunni. Kenadati demikian, sufi sunni juga mengakui kedekatan manusia dengan Tuhannya, hanya saja masih dalam batas-batas syari’at yang tetap membendakan manusia dengan Tuhan. Teori tersebut dapat lahir karena kaum sufi falsafi mengakui “kebersatuan” itu, dengan alasan bahwa manusia adalah manusia dan Tuhan adalah Tuhan, yang tidak akan mungkin akan bersatu antara keduanya.
Konsekuensi terhadap adanya paham “kebersatuan” yang diajarkan kaum sufi falsafi itu membuat mereka melacak asal-usul dirinya dan segala wujud yang ada. Menurut mereka, menusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran atau turunan dari Wujud Sejati” yang menurunkan wujud-wujud-Nya dari alam ruhani kealam materi dalam bentuk manifestasi wujud secara berurutan (gradasi wujud, hierarqi wujud).
Proses penurunan wujud ini dalam pembendaharaan sufi dinamakan dengan tanazzul, yang dikenal melalui bentuk penyingkapan diri (tajalli), baik tajalli dzati (gaib) maupun tajalli syuhudi, seperti yang dilontarkan oleh Ibnu Arabi. Konsep tanazzul dan tajalli ini juga dapat ditemukan dalam pemikiran al-Jilli. Menurutnya, proses tanzzul berupa tajalli Tuhan yang berlangsung secara terus menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat secara berturut turut, yaitu uluhiyah, ahadiyah, wahidiyah, rahmaniyah, rububiyah, dan konsep seperti ini mirip dengan teori emansi.
Pada akhirnya kedua konsep tanazul tadi, baik Ibn Arabi maupun al-Jilli, memiliki pandangan yang sama, yaitu bahwa manusia sebagai manifestasi Tuhan merupakan akhir dari manifestasi-Nya dan sekaligus menjadi titik tolak untuk mengenal (Ma’rifat) dan kembali kepada-Nya. Dengan mengenali diri manusia maka Tuhan akan dikenal karena segenap citra-Nya telah terangkum dalam diri manusia itu sendiri sebagai manusia sempurna (Insan Kamil). Inilah yang sering diungkapkan para sufi : Artimnya : “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya” Selain gambaran tanazzul yang telah disebutkan di atas, terdapat gambaran lain yang khas, yang digambarkan lewat dunia wujud atau alam-alam (‘awalim) wujud. Gambaran tersebut dilihat dari sudut pandang perwujudan dan perolehan Ma’rifat yang diistilahkan dengan al-hadarat (kehadiran-kehadiran), meliputi martabat asasi bagi wujud alam semesta, yang tersusun dari tajalli-tajalli, dan dikenal dalam istilah Tasawuf sunni dengan sebutan Ma’rifat. Sebagian sufi memberikan pengertian, tajalli adalah Lenyapnya/hilangnya hijab dari sifat-sifat kebashariyahan, jelasnya nur yang selama itu gaib, fananya/lenyapnya segala yang lain kecuali wajah Tuhan. Sedangkan Ma’rifat adalah lenyapnya segala yang lain karena nampaknya Maha Esa yang baqa. Pengertian ini seiring pula dengan istilah yang diberikan oleh al-Qusyairiyah dengan sebutan Muhadarah, Mukasyafah, dan Musyahadah. Muhadarah berarti keadaan qalbu, setalah itu baru Mukasyafah, yakni kehadiran qalbu dengan sifat sifat nyata, lalu Musyahadah yaitu hadirnya la-Haqq tanpa dibayangkan. Abu bakar asy-Syibliy berkata :
Allah adalah yang Esa
Yang dikenal sebelum ada batas huruf
Maha suci Allah, tidak ada batas bagi Dzat-Nya
Dan tidak ada huruf bagi kalam-Nya
Dari beberapa macam Tasawuf di atas baik Tasawuf yang bercorak sunni maupun Tasawuf yang bercorak falsafi, maka secara garis besar dapat diambil sebuah kejelasannya, bahwa Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua kategori : pertama, Ma’rifat Ta’limiyat, dan kedua Ma’rifat Laduniah. Senada dengan kamus Tasawuf yang ditulis oleh Mukhtar Solihiin dan Rosihon Anwar, corak mengenai macam Marifat terbagi kedalam dua kategori, pertama Marifat al-Illahiyah yakni Ma’rifat yang berbasiskan Filosofis yang ditulis oleh Ibn ‘Arabi dan kedua Ma’rifat Dzauqiyah yakni Ma’rifat secara rasa, dan tentunya Ma’rifat yang kedua ini lebih bercorak Sunni dan amali.
1. Ma’rifat Ta’limiyat
Ma’rifat Ya’limiyat merupakan istilah lain Ma’rifat yang di lontarkan oleh al-Ghazali25, dapat di depinisikan sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyat berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limiyatan yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim. Oleh karena itu Ma’rifat ta’limiyat yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan yang biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”.
Di sisi teori yang lain Ma’rifat ta’limiyat dapat disebut juga dengan Ma’rifat orang salik Pada mulanya salik mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam -Allah Azza wa jalla-.Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah lain disebut asamul al-husna, sebagaimana yang dilontarkan oleh M. Ali Chasan Umar bahwa asma al-husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan yang Agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99 (sembilan puluh sembilan) Nama.
Karena itu, adannya alam semesta menujukan adanya nama-nama Tuhan, nama-nama Tuhan itu menujukan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Tuhan itu ada hubungannya dengan Dzat-Nya, Ilmu-Nya, kekerasan. Keagungan-Nya dan tiada batasnya. Sifat-sifat tersebut itu selalu berdiri sendiri dan bergantung pada Dzat-Nya sebab tidak mungkin kalau ada sifat tetapi tidak ada yang disifati. Adapun yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla. Nama-nama itu disebutkan dalam Firman-Nya :
Artinya : “Serulah Allah atau Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah adalah mempunyai nama-nama yang baik”. (Q.S. Al-Isra’ : 110)
Ma’rifat ta’limiyat secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses bagaimana cara mengenali Tuhan (Ma’rifat). artinya salik (muta’alim) memerlukan metode untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara khusus misalnya menjadi murid untuk melakukan proses perjalanan ruhani (suluk) dalam tarekat sufi secara metodik, maupun metode yang dilakukan secara umum atau tarekat yang secara langsung mengkaji dari sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh Rasulullah, Para sahabat, Tab’iin, Atba At-Tabi’in sampai ulama sekarang yang sejalan dengan al-Quran dan Hadits.
Adapun Arifubillah Muhammad bin Ibrahiim mendefinisikan bahwa hakikat cara (suluk), ialah mengosongkan diri Dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari maksiat lahir dan dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji/mahmudah (dengan taat lahir dan batin). Tujuan dari pada suluk, bukan sekedar untuk maksud mendapat ni’mat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia Allah, arau mendapatkan sorotan cahaya (nur), dan lain-lain, sehingga salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi suluk bertujuan untuk Allah semata.
Dengan jalan suluk, maka semua pelajaran-pelajaran yang dipelajari dalam Tasawuf/ Tarekat, dengan karunia-Nya salik sendiri akan mengalami keyakian dekat dengan Tuhan. Firman Allah :
فَاْسلُكِى سُبُلَ َرّبِكَ ذُللاًّ
Artinya : “Maka tempuhlah jalan Tuhan-Mu yang telah dimudahkan bagimu. Dalam menempuh jalan Tuhan (suluk) maka ahli-ahli Tasawuf/Tarekat merasa yakin akan sapai kepada Tuhan”.
Kearah menempuh tujuan itu, salik (muta’alim) menempuh bermacam-macam cara yang dapat membawa meraka yang pada akhirnya sampai pada hadirat Allah :al-Ghazali menyebutkan cara tersebut berupa Penycian jiwa (tazkiyat an-nafs) artinya sesorang harus melakukan penyucian jiwa terlebih dahulu. Perolehan Ma’rifat yang merupakan hasil dari kegiatan penyucian jiwa, harus terlebih dahulu dengan metode mujahadah dan riyadhah. Setelah mendaki stasiun demi stasiun menuju Tuhan, salik (pelaku tazkiyat an-nafs) hampir dapat dipastikan bahwa telah memperoleh jiwa yang bersih dari segala kejahatan dan dosa, yang diakibatkan dari akhlak-akhlak tercela. Jiwa seperti ini akan bercahaya dengan segala sifat yang terpuji sehingga dapat menangkap gambar suatu informasi atau pengetahuan yang tertera di lauh al-Mahfudh, yang langsung diberikan oleh Allah kepadanya dalam kondisi Ma’rifat
Adapun fase-fase yang harus ditempuh kerah mencapai hakikat, salik (muta’alim) dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase :
Fase 1. Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan amal ibadat yang dipardukan dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan Rosulullah Saw.
Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Allah) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati). Setelah hati dan ruhani telah bersir dan diisi dengan amalan batin (dzikir), maka pada fase ini salik didatangkan nur dari Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.
Fase 3. disebut murhalah riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong diri. Maksud dari dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci, Imam ghazali mengumpamakan seperti kaca cermin yang dapat menangkap sesuatu apapun yang bersifat suci, sehgingga salih dapat menerima informasi hakiki tentang Allah.
Fase 4. disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa salik telah mencapai pada martabat menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil haqqi). Pada fase keempat ini, sebagai puncak segala perjalanan, maka didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”
2. Ma’rifat Laduniyah
Ma’rifat laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan kasf, mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Ibnu ‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan Ma’rifat orang mahjdub. Ma’rifat orang mahjdub yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifat Laduniyah.
Lebih jauh, kalangan sufi tersebut menyatakan bahwa orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa melalui suatu perantara (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada umumnya dibuat untuk memeperoleh ilmu pengetahuan –seperti talqin dari - sufi.
Tidak sama dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat talimiyat), ilmu laduni bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya, seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai alim sejati. Hal ini dinyatakan oleh Abu Yazid al Bistami bahwa
“Tidaklah disebut sebagai alim (ma’rifat al-mahdjub) jika seseorang masih memeproleh ilmunya dari hapalan-hapalan kitab, karena seseorang yang memperoleh ilmunya dari hapalan, pasti akan mudah melupakan ilmunya. Dan apabila ia lupa, maka bodohlah ia”
Seorang yang ‘alim (ma’rifat laduniyah) adalah orang yang memeproleh ilmunya langsung dari Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hapalan dan pelajaran. Orang seperti ini pula menurut Muhammad Nafis disebut sebagai ‘alim ar-Rabani -orang yang berpengetahuan ketuhanan-.
Dengan demikian Ma’rifat laduniyah juga dapat disebut Ma’rifat orang Mahjdzub juga dapat disebut ‘alim ar-Rabani yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kemudian kembali bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam al-Qur’an :
اتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَاوَعَلَمْنَاهُ مِنْ لَدُنّاَعِلْمًا الكهف : 65
Artinya : “…yang telah berikan padanya rakmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami” (al-Kahfi : 65).
Ma’rifat laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah al-Ghazali disebut dengan Ilmu ta’limiyat. Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya, menurut al-Ghazali laksana naskah asli dengan duplikatnya. Hal ini mirip dengan teori plato bahwa Ilmu yang ada di alam ide itu lebih murni dari pada ilmu yang telah digelar di alam raya, namun kedunya persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau fotokopinya.
Ilmu laduniyah, ‘alim Ar-Rabani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf, sedang ilmu ta’limyah hanya dapat dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak dengan susah payah. Oleh karena itu, para sufi tidak tertelan belajar melalui pengkajian buku-buku atau penelitian secara radikal terhadap kenyataan alamiyah seperti halnya ilmuwan. Para sufi menginginkan jalan pintas untuk memperoleh sumber asli dari segala ilmu yang tersurat di lauh mahfudz.
Penghayatan Kasf dan Zauq itu berada dalam kondisi Ma’rifat, karena Ma’rifat memiliki hubungan yang erat dengan musyahadah dan mukasyafah. Ma’rifat itu sendiri merupakan ajaran Tasawuf, yang pada garis besarnya merupakan ajaran kesucian jiwa, yaitu semata-mata untuk memasuki hadharah al-qudsiyah (hadirat kesucian) atau hadharah Rububiyah (hadirat ketuhanan), akan tetapi dalam hal ini, Ma’rifat lebih signifikan karena keberadaan musyahadah dan mukasyafah bergantung pada Ma’rifat dan dengan Ma’rifat pula, ilmu laduni ikut menyertainya.
Dalam hal ini Ibnu ‘Atha’illah mengemukakan hikmahnya sebagai berikut :
اَشْهَدَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَسْتَشْهَدَكَ فَنَطَقَتْ بِإِلَهِيَّتِهِ الّظَوَهِرُوَتَحَقَّقَتْ بِأَحَدِيـــَّــتِهِ الْقُلُوْبُ وَالسَّرَاِئرِ
Artinya : “Allah memperlihatkan Dzat-Nya kepadamu sebelum Dia menuntut kepadamu harus mengeakui keberasan-Nya. Maka anggota lahir mengucapkan (mengakui) sifat ke-Tuhanan-Nya dan hati menyatakan dengan sifat-sifat ke Easaan-Nya.
Maksud perkataan hikmah tersebut adalah “Tuhan menampakan keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam hati seseorang, setelah itu Allah menunutut persaksian kepadamu mengenai kebesaran dan keluhuran-Nya dengan melakukan dzikir dan Ibadah. Ibadah yang dilakukan dengan anggota lahir sebagai persaksian mengenai keagungan dan keluhuran-Nya, dan dzikir yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari sifat-sifat ke-Esaan-Nya”.