Adab

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu."(At-Tahrim: 6).

Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, maksud ayat ini, didiklah dan ajarilah mereka.

Kata adab merupakan himpunan dari beberapa hal. Jadi adab artinya himpunan perkara-perkara yang baik pada diri hamba. Ada pula kata ma'dabah, yang artinya makanan yang dikerubuti beberapa orang untuk dimakan. Sedangkan ilmu adab artinya ilmu yang mengatur kebagusan lisan, ucapan, membaguskan lafazh-lafazhnya, menjaganya dari kesalahan dan kekeliruan, yang merupakan cabang dari adab secara umum.

Adab dalam pembahasan ini ada tiga macam: Adab bersama Allah, adab bersama Rasulullah dan syariatnya, adab bersama makhluk Allah.

Adab bersama Allah ada tiga macam:

- Menjaga mu'amalah dengan-Nya agar tidak dinodai kekurangan.

- Menjaga hati agar tidak berpaling kepada selain-Nya.

- Menjaga kehendak agar tidak bergantung kepada sesuatu yang dibenci Allah.

Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, "Dengan ketaatannya kepada Allah,seorang hamba bisa mencapai surga, dan dengan adabnya dia bisa mencapai ketaatan kepada Allah." Dia juga pernah berkata, "Aku pernah melihat seseorang yang hendak mengulurkan tangan ke arah hidung-nya, namun kemudian dia mengurungnya karena menjaga adab di hadapan Allah."

Yahya bin Mu'adz berkata, "Siapa yang memelihara adab Allah, maka dia termasuk orang-orang yang dicintai Allah."

Ibnul-Mubarak berkata, "Adab yang sedikit lebih kami butuhkan daripada ilmu yang banyak."

Al-Hasan Al-Bashry pernah ditanya tentang adab yang paling bermanfaat. Maka dia menjawab, "Memahami agama, berzuhud di dunia dan mengetahui hak-hak Allah atas dirimu."

Al-Junaid pernah berkata kepada Abu Hafsh, "Engkau telah mendidik rekan-rekanmu dengan adab para sultan." Maka Abu Hafsh menyahut,"Adab yang baik secara zhahir merupakan tanda adab yang baik di dalam batin. Adab bersama Allah ialah kebersamaan yang baik dengan-Nya, menyelaraskan gerak zhahir dan batin berdasarkan pengagungan dan rasa malu, seperti suasana dalam pertemuan para raja di hadapan para punggawanya."

Menurut Abu Nashr As-Siraj, ada tiga tingkatan manusia dalam kaitannya dengan adab:

- Ahli dunia, yang adab mereka berkisar pada masalah kefasihan bicara,sastra bahasa, menjaga ilmu, nasab para raja dan syair-syair.

- Ahli agama, yang adabnya berkisar pada masalah melatih jiwa, mendidik anggota tubuh, menjaga hukum dan meninggalkan nafsu dan syahwat.

- Ahli hal-hal yang bersifat khusus, yang adab mereka berkisar pada masalah mensucikan hati, memperhatikan hal-hal yang tersembunyi,memenuhi janji, menjaga waktu, membaguskan adab dan taqarrub.

An-Nawawy berkata, "Siapa yang tidak memiliki adab waktu, maka waktunya akan menjadi kebencian."

Perhatikanlah keadaan para rasul bersama Allah, seruan dan doa mereka. Tentunya engkau akan mendapatkan, bahwa semua tindakan mereka tidak lepas dari adab.

Al-Masih Alaihis-Salam berkata di dalam surat Al-Maidah: 116-118, berkaitan dengan pertanyaan Allah kepadanya, apakah dia menyatakan kepada manusia agar dijadikan sesembahan? Maka beliau menjawab, "Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya". Beliau tidak menjawab, "Jika aku tidak pernah mengatakannya". Ada perbedaan yang jauh antara dua jawaban ini dalam mewujudkan hakikat adab. Kemudian beliau melandaskan urusan kepada ilmu Allah, yang mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi, dengan berkata,"Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku". Kemudian beliau memuji Allah dan disusul dengan menyebutkan sifat-Nya yang hanya Dialah yang mengetahui perkara-perkara gaib, "Sesungguhnya Engkau mengetahui perkara-perkara yang gaib". Kemudian beliau menyatakan bahwa beliau hanya mengatakan seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, yang berarti ini merupakan pernyataan tauhid, "Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakan-nya), yaitu,'Sembahlah Allah, Rabb kalian dan juga Rabbku'." Kemudian beliau mengabarkan kesaksiannya terhadap diri mereka selagi beliau masih hidup di tengah-tengah mereka. Tapi setelah beliau wafat, maka beliau tidak tahu-menahu tentang keadaan mereka dan hanya Allahlah yang mengetahui dan yang mengawasi keadaan mereka, "Aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (mengangkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka". Kemudian beliau mensifati Allah, bahwa kesaksian-Nya di atas segala kesaksian, "Dan, Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu". Kemudian beliau berkata, "Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguh-nya mereka adalah hamba-hamba Engkau". Ini merupakan gambaran adab yang tinggi bersama Allah dalam keadaan tersebut, yaitu saat mengharap rahmat bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah hamba-hamba-Mu dan bukan hamba selain-Mu. Jika Engkau mengadzab mereka, padahal mereka bukanlah hamba yang buruk dan durhaka, maka mengapa Engkau mengadzab mereka? Sebab adanya penghambaan mengharuskan ada-nya kebaikan dan kasih sayang terhadap hamba. Kemudian Al-Masih berkata, "Jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". Beliau tidak mengatakan, "Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang", karena menjaga adab bersama Allah. Yang demikian ini dikatakan Al-Masih pada saat Allah murka kepada mereka dan memerintahkan agar mereka dimasukkan ke dalam neraka. Ini bukan merupakan kesempatan untuk meminta kasih sayang dan syafaat, tapi untuk membebaskan diri dari perbuatan mereka. Seandainya dikatakan, "Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang", berarti sama dengan meminta kasih sayang bagi musuh-musuh-Nya yang dimurkai-Nya. Jadi Al-Masih harus menyesuaikan diri dengan keadaan Allah yang sedang murka kepada mereka, sehingga tidak menyebutkan sifat rahmat, kasih sayang dan ampunan-Nya, tetapi menyebutkan keperkasaan dan kebijaksanaan, yang mengandung kesempurnaan kekuasaan dan ilmu-Nya. Dengan kata lain, jika Engkau mengampuni mereka, maka ampunan itu datang dari kesempurnaan kekuasaan dan ilmu, bukan karena ketidakmampuan membalas mereka dan bukan karena tidak tahu dosa-dosa mereka. Sebab bisa saja manusia mengampuni orang lain karena dia tidak mampu membalas kejahatan-nya atau karena tidak tahu kejahatannya.

Begitu pula perkatan Ibrahim, "Dan, jika aku sakit, maka Dia menyembuhkan aku". Beliau tidak mengatakan, "Jika Dia membuatku sakit", karena menjaga adab bersama Allah. Begitu pula perkataan Adam, "Wahai Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri". Beliau tidak mengatakan, "Wahai Rabbi, Engkau telah menakdirkan kepadaku".

Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar seseorang menutup auratnya meskipun dalam keadaan sendirian tanpa di lihat orang lain, untuk menjaga adab bersama Allah, karena kedekatan-nya dengan Allah, sekaligus sebagai pengagungan dan rasa malu kepada-Nya.

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, "Siapa yang meremehkan adab, maka dia dihukum dengan tidak melaksanakan yang sunat. Siapa yang meremehkan yang sunat, maka dia dihukum dengan tidak melaksanakan yang wajib. Siapa yang meremehkan yang wajib, maka dia dihukum dengan tidak mendapatkan ma'rifat." Ada yang berkata, "Adab dalam amal merupakan pertanda diterimanya amal itu." Hakikat adab adalah menerapkan akhlak yang baik. Karena itu adab juga bisa dikatakan sebagai upaya mengeluarkan kesempurnaan dan kekuatan dalam tabiat kepada pelaksanaan.

Allah telah mempersiapkan diri manusia untuk menerima kesempurnaan,dengan memberinya keahlian dan kesiapan, yang dijadikan Allah tersembunyi di dalam dirinya seperti api dalam sekam, lalu Allah memberinya ilham, kekuatan, ma'rifat dan petunjuk, mengutus para rasul,menurunkan kitab-kitab, untuk mengeluarkan kekuatan yang telah disempurnakan itu kepada perbuatan dan amal. Allah befirman,

"Detnijiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesung guhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (Asy-Syams: 7-10).

Allah menggambarkan penciptaan jiwa yang sama dan memiliki kesempurnaan, kemudian mengabarkan bahwa jiwa itu bisa menerima kefasikan dan ketakwaan, yang semua itu merupakan ujian dan cobaan baginya. Kemudian mengkhususkan keberuntungan bagi orang yang mensucikan jiwanya, menumbuhkan dan meninggikannya dengan adab yang dibawa para rasul dan wali-Nya. Kemudian Allah menetapkan penderitaan bagi orang yang mengotori jiwanya dan menodainya dengan kefasikan.

Adab adalah semua kandungan agama. Menutup aurat termasuk adab. Wudhu dan mandi janabah termasuk adab. Bersuci dari kotoran termasuk adab, termasuk pula berdiri di hadapan Allah dalam keadaan suci. Karena itu banyak orang yang suka berhias ketika shalat, karena mereka sedang berdiri di hadapan Allah. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Allah memerintahkan lanjutan dari menutup aurat dalam shalat, yaitu memakai pakaian yang indah, sebagaimana firman Allah, "Pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid". Allah mengaitkan perintah ini dengan memakai pakaian yang indah, bukan dengan menutup aurat, sebagai isyarat dan perkenan dari Allah bahwa selayaknya bagi hamba untuk mengenakan perhiasan dan pakaiannya yang paling indah saat mendirikan shalat."

Sebagian di antara orang-orang salaf ada yang memiliki pakaian yang harganya sangat mahal, yang biasa dikenakan saat shalat. Dia berkata, "Rabb-ku lebih berhak atas diriku untuk mengenakan pakaian ini dalam shalatku."

Sebagaimana yang sudah diketahui, Allah suka melihat pengaruh nikmat-Nya atas hamba, terlebih lagi saat hamba itu berdiri di hadapan-Nya. Keadaan yang paling baik saat berdiri di hadapan-Nya ialah dengan mengenakan pakaian yang bagus dan menampakkan nikmat-Nya secara zhahir dan batin.

Yang juga termasuk adab adalah larangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, agar orang yang mendirikan shalat tidak mengarahkan pandangan ke arah langit. Saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Yang termasuk kesempurnaan adab shalat ialah seorang hamba berdiri di hadapan Rabb-nya dalam keadaan merunduk, mengarahkan pandangan matanya ke tanah, dan tidak mengangkat pandangan ke atas."

Sementara golongan Jahmiyah, karena tidak memahami adab ini dan tidak mengenalnya, mengira ini merupakan dalil bahwa Allah tidak berada di atas 'Arsy di atas langit, seperti yang dikabarkan Allah tentang Diri-Nya, yang juga disepakati para rasul dan sesuai dengan ijma' Ahlus-Sunnah. Hal ini menunjukkan kebodohan mereka, bahkan merupakan bukti bahwa apa yang mereka pahami dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak sejalan dengan perkataannya. Sebab di antara adab di hadapan raja ialah larangan mengarahkan pandangan kepadanya dan harus melihat ke arah bawah. Lalu bagaimana dengan adab di hadapan Raja Segala Raja?

Saya juga pernah mendengar Syaikhul-Islam berkata tentang larangan membawa Al-Qur'an saat ruku' dan sujud, "Karena Al-Qur'an merupakan kalam Allah yang mulia. Sementara saat ruku' dan sujud merupakan keadaan hamba yang merendahkan diri. Maka adab bersama kalam Allah ialah tidak membacanya dalam dua keadaan ini. Saat yang paling layak untuk dibaca ialah saat berdiri."*

*Alasan ini tidak mutlak benar dan perlu dipertimbangkan. Sebab saat ruku' merupakan keadaan yang mulia dan merendahkan diri kepada Allah yang Mahabesar. Sementara itu,merendahkan diri dengan menyatakan keagungan Rububiyah dan keagungan-Nya merupakan sesuatu yang mulia. Boleh jadi rahasia dalam masalah ini, orang yang membaca Al-Qur'an saat berdiri dalam shalat, bisa memperjelas pemahamannya terhadap kandungan Al-Qur'an, bahwa Allah mempunyai nikmat-nikmat yang besar, lalu mengistimewakan nikmat yang paling besar, yaitu nikmat munajat kepada-Nya. Dalam keadaan berdiri itu seorang hamba merasa bahwa dia sedang memanggul nikmat di atas pundaknya, lalu dia ruku' sambil bertasbih memanjatkan pujian kepada Allah dan mengingat nikmat-Nya. Kemudian dia bangkit dari ruku' sambil menyatakan syukur dan berkata, "Allah telah mendengar perkataan orang yang memuji-Nya." Karena dia merasa nikmat yang diberikan kepadanya semakin banyak, maka dia pun merunduk untuk sujud.

Di antara adab bersama Allah ialah tidak menghadap atau pun membelakangi Baitullah Al-Haram saat buang hajat, seperti yang diriwayatkan dari Nabi Sallallahu alaihi wasallam .Namun yang benar dalam masalah ini berlaku secara umum, baik buang hajat itu di tempat terbuka maupun di dalam bangunan.

Masih banyak adab-adab lain bersama Allah. Adapun adab bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an. Adab yang paling penting bersama beliau adalah ketundukan kepada beliau secara utuh, patuh kepada perintah beliau, menerima pengabaran beliau dengan pembenaran tanpa disertai penen-tangan yang berasal dari hayalan atau pemikiran, tanpa disertai kesangsian dan keragu-raguan, tidak mengutamakan pendapat para pemimpin daripada pengabaran beliau, sehingga beliaulah satu-satunya yang dijadikan penentu hukum, dipatuhi dan diikuti, sebagaimana yang mengutus beliau, Allah dijadikan satu-satunya yang disembah, yang dijadikan tempat bersandar dan tempat kembali.

Ini merupakan dua macam tauhid. Seorang hamba tidak selamat dari siksa Allah kecuali dengan dua tauhid ini, yaitu tauhid Allah yang mengutus rasul dan tauhid mengikuti rasul, sehingga seorang hamba tidak bertahkim kepada selain beliau dan tidak ridha terhadap hukum selain hukum beliau.

Di antara adab bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah tidak mendahului beliau dalam masalah perintah dan larangan, perkenan maupun perilaku, hingga beliau memerintah dan melarang, sebagaimana firman-Nya,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allahdan Rasul-Nya." (Al-Hujurat: 1).

Hal ini berlaku hingga hari kiamat dan sama sekali tidak terhapus.Mendahulukan Sunnah setelah beliau wafat, sama dengan mendahulu-kan Sunnah selagi beliau masih hidup, tidak ada perbedaan di antara keduanya bagi orang yang memiliki akal yang sehat. Menurut Mujahid, maksudnya, janganlah kalian lancang membuat fatwa dengan mengalahkan Rasulullah. Abu Ubaidah berkata, "Orang Arab biasa berkata, "Janganlah kalian mendahului pemimpin dan adab". Artinya janganlah kalian terburu-buru mengambil perintah dan larangan dengan mengabaikannya."

Yang lain lagi berkata, "Artinya, janganlah kalian memerintah sehingga beliau memerintah, dan janganlah kalian melarang sehingga beliau melarang."

Di antara adab bersama beliau adalah tidak mengeraskan suara di atas suara beliau, karena yang demikian ini bisa menggugurkan amalan. Maka lalu bagaimana dengan meninggikan pendapat di atas Sunnah beliau? Apakah yang demikian ini membuat amal bisa diterima, sementara meninggikan suara saja bisa menggugurkan amalan?

Di antara adab bersama beliau ialah tidak menjadikan panggilan kepada beliau seperti panggilan kepada selain beliau. Firman Allah,

"janganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian (yang lain)." (An-Nur: 63).

Ada dua pendapat tentang hal ini di kalangan para mufassir: Pertama,janganlah kalian memanggil dengan nama beliau (Muhammad)

sebagaimana sebagian di antara kalian memanggil sebagian yang Iain,tetapi katakanlah, "Wahai Rasulullah, wahai Nabi Allah". Kedua, janganlah kalian menganggap panggilan beliau seperti panggilan sebagian di antara kalian terhadap sebagian yang lain, jika mau maka dia memenuhinya dan jika tidak mau maka dia meninggalkannya.

Di antara adab bersama beliau ialah seperti yang dilakukan para shahabat, bahwa jika mereka bersama beliau dalam suatu urusan yang melibatkan orang banyak, seperti saat beliau menyampaikan pidato, saat berjihad dan saat mengadakan persiapan untuk jihad, maka tak seorang pun di antara mereka yang pergi untuk suatu keperluan, sehingga dia meminta izin kepada beliau, sebagaimana firman-Nya,

"Sesungguhnya yang benar-benar orang Mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya." (An-Nur: 62).

Jika kepergian ini dikaitkan dengan suatu keperluan yang ada pada saat itu, yang tidak mereka lakukan kecuali setelah meminta izin kepada beliau, lalu bagaimana dengan kepergian secara mutlak dari agama, meninggalkan dasar dan cabangnya?

Di antara adab bersama beliau ialah tidak menganggap rumit perkataan beliau, tapi yang dianggap rumit adalah berbagai pendapat. Juga tidak boleh mempertentangkan nash beliau dengan qiyas, tapi berbagai macam qiyas harus disingkirkan karena ada nash beliau. Juga tidak boleh mengalihkanperkataan beliau dari hakikatnya karena jalan-jalan pemikiran manusia.

Sedangkan adab bersama makhluk ialah cara bermu'amalah dengan mereka, dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan tingkatan mereka. Karena ada adab untuk masing-masing tingkatan. Ada adab khusus bersama kedua orang tua. Ada adab khusus bersama orang yang berilmu. Begitu pula bersama para pemimpin, kerabat, tetangga, rekan,tamu dan lain-lainnya, masing-masing ada adabnya sendiri-sendiri. Setiap keadaan juga mempunyai adab masing-masing, saat makan, minum, naik kendaraan, masuk keluar rumah, bepergian, menginap, tidur, buang hajat, berbicara, diam, mendengarkan perkataan orang lain dan lain sebagainya.

Adab seseorang merupakan pertanda kebahagiaan dankeberuntungannya,sedang
kan sedikit adab merupakan pertanda penderitaan dan kecelakaannya. Tidak ada yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat seperti halnya adab.

Perhatikanlah adab bersama kedua orang tua, bagaimana pelakunya bisa terbebas dari keadaannya yang terjebak di dalam gua, karena secara tiba-tiba mulut gua itu tertutup bongkahan batu (Tepatnya bersama dua orang temannya. Mereka berkata, "Tak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali kalian memohon kepada Allah dengan amal-amal shalih kalian." Hadits tentang hal ini diriwayatkan Al-Bukhary dan lain-lainnya). Perhatikan pula keadaan setiap orang yang celaka dan yang terkecoh,tidak mendapatkan apa yang diharapkannya karena adabnya yang minim.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Adab artinya menjaga batas antara berlebih-lebihan dan meremehkan, sambil mengetahui bahaya pelanggaran."

Menyimpang ke salah satu sisi sikap berlebih-lebihan atau meremehkan menunjukkan minimnya adab. Yang disebut adab ialah berada di tengah-tengan di antara dua sisi, tidak meremehkan batas-batas syariat dengan meninggalkan kesempurnaannya, dan tidak pula melebihi batasbatas syariat. Sebab kedua sisi ini merupakan pelanggaran. Allah tidak suka kepada orang-orang yang melanggar batas. Pelanggaran ini merupakan adab yang buruk.

Di antara orang salaf ada yang berkata, "Agama Allah ada di antara orang yang meremehkan dan berlebih-lebihan."

Menyia-nyiakan adab karena meremehkan seperti orang yang tidak menyempurnakan basuhan ke anggota wudhu' dan tidak memenuhi adabadab shalat yang disunnahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,yang kalau dihitung mendekati seratus adab, entah yang wajib maupun yang sunat. Menyia-nyiakan adab karena berlebih-lebihan seperti gangguan saat berniat lalu melafazhkannya, menyaringkan suara saat berdzikir dan berdoa, padahal disyariatkan untuk membacanya tanpa bersuara.

Mengambil jalan tengah dalam kaitannya dengan hak para rasul ialah tidak melebih-lebihkan anggapan tentang diri mereka, seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani terhadap Al-Masih, namun juga tidak boleh meremehkan mereka seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi. Orang-orang Nasrani menyembah Al-Masih, sedangkan orang-orang Yahudi mendustakan dan bahkan membunuh nabi mereka. Umat yang adil ialah yang mengimani mereka, mendukung dan menolong serta meng-ikuti apa yang mereka bawa.

Mengambil jalan tengah dalam kaitannya dengan hak makhluk ialah tidak berlebih-lebihan dalam memenuhi hak mereka, sehingga mengalahkan kesibukannya untuk memenuhi hak-hak Allah atau menyempurnakannya. Namun juga tidak boleh mengabaikan hak-hak makhluk. Dua sisi ini merupakan pelanggaran. Berdasarkan batasan ini, maka hakikat adab adalah sikap yang adil.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat adab, yaitu:

1. Mencegah ketakutan agar tidak menjurus ke rasa putus asa, menahan harapan yang menjurus kepada rasa aman, menguasai kegembiraan yang menjurus kepada tindakan yang menyerupai kelancangan. Maksudnya, seorang hamba tidak membiarkan rasa takut yang membawanya ke suatu batasan yang membangkitkan rasa putus asa terhadap rahmat Allah. Rasa takut seperti ini adalah tercela. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam berkata, "Batasan rasa takut ialah yang mencegahmu dari kedurhakaan kepada Allah. Yang lebih dari itu tidak dibutuhkan."

Rasa takut yang menjurus kepada keputusasaan ini merupakan adab yang buruk terhadap rahmat Allah. Padahal rahmat-Nya mengalahkan kemurkaan-Nya, sekaligus menunjukkan ketidaktahuan tentang rahmat itu.

Menahan harapan yang menjurus kepada rasa aman, artinya tidak melebih-lebihkan harapan hingga ke suatu batasan yang membuatnya merasa aman dari siksaan. Sesungguhnya tidak ada yang merasa aman dari tipu daya Allah kecuali orang-orang yang merugi. Batasan harapan ialah yang membuatmu merasa nyaman dalam melaksanakan ubudiyah dan mendorongmu untuk mengadakan perjalan kepada Allah. Yang demikian ini sama dengan angin berhembus yang memperjalankan perahu. Jika angin itu tidak berhembus, maka perahu pun juga berhenti. Tapi jika angin itu terlalu kencang, bisa menimbulkan kebinasaan.

Menguasai kegembiraan yang menjurus kepada tindakan yang menyerupai kelancangan, tidak dapat dilakukan kecuali orang-orang yang kuat hasratnya, yang tidak terlalu gembira karena kelapangan sehingga mengalahkan rasa syukurnya, dan tidak melemah karena kesempitan sehingga mengalahkan kesabarannya.

Nafsu merupakanpasangansyetandan menyerupai sifat-sifatnya. Pemberian Allah turun ke dalam hati dan ruh. Sementara nafsu selalu mencuri dengar. Jika pemberian itu turun ke dalam hati, maka nafsu melompat untuk mengambil bagian dan menjadikannya sebagai golongan-nya. Orang yang membiarkan nafsu dan masa bodoh terhadapnya, berarti dia membiarkan nafsu itu berbuat semaunya. Apa pun yang masuk ke dalam hatinya, maka akan menjadi bagian nafsu dan perangkatnya, sehingga dia pun berbuat semena-mena dan aniaya serta melampaui batas, karena dia merasa cukup dengan diri dan nafsunya. Memang begitulah manusia yang suka melampaui batas,karena menganggap dirinya cukup dengan harta yang dimilikinya. Lalu bagaimana jika dia diberi yang lebih tinggi dan lebih penting daripada harta? Tentu dia akan menyimpang ke sisi yang tercela?

2. Keluar dari rasa takut ke medan penguasaan, naik dari harapan ke medan pengungkapan, naik dari kegembiraan ke medan kesaksian. Dalam derajat pertama disebutkan cara menjaga batasan di antara beberapa kedudukan agar tidak menyimpang ke salah satu sisi yang mencerminkan adab yang buruk. Sedangkan dalam derajat ini disebutkan adab untuk menjaga agar derajat pertama tidak sia-sia.

Dengan kata lain, hendaklah seorang hamba berpindah dari bayangan keadaan ke ruhnya. Rasa takut merupakan bayangan dan penguasaan diri meru-pakan ruhnya. Harapan merupakan bayangan dan pengungkapan merupakan ruhnya. Kegembiraan merupakan bayangan dan kesaksian merupakan ruhnya.

3. Mengetahui adab, melebur dalam adab yang diberikan Allah, kemudian membebaskan diri dari segala beban adab. Mengetahui adab artinya mengetahui hakikat setiap derajatnya, yang tercakup dalam derajat ketiga ini dan yang sekaligus mencakup dua derajat sebelumnya. Jika hal ini sudah diketahui dan merupakan keadaan seorang hamba, tentu dia akan melebur ke dalam adab yang diberikan Allah kepadanya, melebur ke dalam kesaksian hakikat. Peleburan diri ke dalam adab inilah yang disebut adab yang hakiki. Sehingga dalam keadaan seperti itu dia akan terbebas dari segala beban adab dan halhal yang memberatinya. Sebab dengan meleburkan diri ke dalam kesaksian hakikat, maka tidak ada sesuatu pun beban adab yang memberatinya.
 

Panji Rasulullah Copyright © 2008-2009 | Edited By : Copyright Tanpa Nama